TEMPO.CO, Jakarta - Terbongkarnya aktivitas kelompok Saracen, yang diduga menjajakan konten kabar bohong dan ujaran kebencian di media sosial, membuka mata masyarakat terhadap risiko penggunaan Internet yang serampangan.
Kabar bohong dan kebencian yang meracuni media sosial, menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Andri, sering membuat pengguna Internet merasa tidak nyaman. “Ketidaknyamanan itu banyak dialami pasien-pasien saya,” ujarnya kepada Tempo awal pekan ini.
Penanggung jawab Klinik Psikosomatik di Rumah Sakit Omni Alam Sutera ini menyebutkan banyak pasiennya yang terganggu oleh kesimpangsiuran informasi di media sosial. Beberapa di antaranya bahkan sangat terpengaruh dan mengalami gangguan kejiwaan. Ia menunjuk contoh kasus gejala psikotik akibat media sosial yang dialami seorang pasiennya, laki-laki berusia 40 tahun. Menurut Andri, pasien tersebut dibawa keluarganya karena tampak kebingungan dan berbicara tentang situasi yang akan terjadi.
Pemicunya adalah berita-berita mengenai demonstrasi besar yang terjadi beberapa bulan lalu. Berita bohong yang beredar membuat pedagang toko kelontong tersebut kian tersesat. “Sampai suatu ketika dia mengatakan kepada keluarganya suatu teori tentang penyelamatan negara, di mana dia yang akan memimpin usaha penyelamatan itu,” ucap Andri.
Saat diperiksa, pasien diketahui mengalami delusi. Dalam sesi wawancara, pasien secara menggebu-gebu mengatakan dirinya bisa menyelamatkan negara dari kehancuran akibat perang saudara. “Diagnosis mengarah ke kondisi psikotik akut yang semoga tidak menjadi skizofrenia paranoid ke depannya,” ujar Andri.
Kasus kedua adalah munculnya kembali gangguan stres pascatrauma. Gangguan ini dialami seorang perempuan paruh baya yang datang dengan ketakutan luar biasa. Berita dari media sosial perihal demonstrasi, ditambah berita palsu tentang etnis Tionghoa, membuat pasien teringat akan bayangan traumatis peristiwa 1998. Pasien mengatakan, saat kerusuhan 1998, dirinya hampir menjadi korban keberingasan massa. “Setelah peristiwa itu, dia menjalani perawatan psikiatrik karena trauma,” kata Andri.
Dia mengakui arus informasi yang masuk sekarang sudah sangat berlebihan dan membuat masyarakat kesulitan memilah antara informasi yang benar dan informasi bohong yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu. Sayangnya, banyak orang merasa berkewajiban menyebarkan berita dan informasi yang belum tentu benar dengan dalih ingin memperbarui berita. “Bahkan di grup WhatssApp banyak yang akhirnya ribut karena bersilang pendapat tentang topik tertentu.”
Menulis di majalah Pursuit milik University of Melbourne, doktor Peegy Kern punya pendapat berbeda. Berdasarkan penelitiannya, Peegy menilai pengaruh media sosial terhadap kecemasan dan depresi tidak terlalu besar. Menurut dia, hanya sedikit orang yang terganggu kesehatan mentalnya gara-gara media sosial. Sebaliknya, Peegy menemukan perilaku di media sosial justru mencerminkan kesehatan mental penggunanya.
Seseorang yang sehat mentalnya akan menggunakan Facebook untuk mencari gosip terbaru dan membagikan hal-hal lucu. Sedangkan seseorang yang menderita depresi akan menghabiskan waktu mencari berita dan meratapi kehidupan orang lain yang tampak bahagia. “Orang yang menderita depresi sering iri terhadap teman-temannya, membanding-bandingkan, dan cenderung menggunakan bahasa negatif,” ucapnya, sebagaimana ditulis Herald Sun, akhir tahun lalu.
EFRI RITONGA