TEMPO.CO, Jakarta - Usia paruh baya tak membahagiakan? Dalam sebuah penelitian belum lama ini, Ekonom Amerika Serikat melakukan survei terhadap 1,3 juta orang di 51 negara. Mereka melaporkan hasil bahwa mayoritas responden mengeluhkan penurunan kebahagiaan sejak menginjak usia 30-an hingga 50-an.
“Setelah usia 50-an baru mereka mulai merasa bahagia lagi. Ada pola U secara psikologis, dan ini terjadi berulang kali. Ini membuktikan penurunan kebahagiaan biasa terjadi saat manusia menginjak paruh baya,” kata Andrew Oswald, ekonom University of Warwick.
Penelitian Oswald tersebut bisa jadi akurat karena berlandaskan sampel yang faktual. Kendati demikian, muncul permasalahan lain berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Ditilik dari kaca mata psikologis, ‘krisis paruh baya’ itu sebenarnya tidak ada.
Profesor psikologi dan ilmu otak University of Massachusetts-Amherst, Susan Krauss Whitborne, bersikeras bahwa argumen tentang penurunan kebahagiaan saat memasuki usia paruh baya tidaklah masuk akal. Baca: Aceh Bisa Membuat Para Lelaki Lebih Bahagia, Cek Surveinya
Dia menjabarkan sepanjang kariernya, dia telah melakukan penelitian tentang perkembangan manusia dewasa, dan tidak pernah sekalipun menemukan kaitan definitif antara usia paruh baya dengan kondisi psikologis manusia.
“Anda boleh menyebutnya ‘krisis paruh baya’, ‘krisis perempat hidup’, atau apapun. Namun, apapun yang menjadi permasalahan personal Anda [saat memasuki periode paruh baya], Anda tidak bisa menyalahkannya pada faktor usia,” tegasnya, dikutip dari Bloomberg.
Perdebatan tentang takaran kebahagiaan manusia saat memasuki usia paruh baya dewasa ini menjadi semakin seru. Indikator yang digunakan untuk mengukurnya berbeda-beda. Ekonom menggunakan tolok ukur numerik, sedangkan psikolog menganalisis faktor kejiwaan.
“Saya heran kenapa para psikolog bisa bilang ‘krisis paruh baya’ itu tidak ada. Padahal, datanya sudah jelas. Itu adalah penelitian ekonom. Bagaimana jika saya hendak menggunakan takaran psikoanalisis untuk mengukur indeks ekonomi?” cetus profesor ekonomi Dartmouth College, David Blanchflower. Baca:Entrupy, Deteksi Keaslian Tas Mewah dalam Hitungan Menit
Sebenarnya, ada banyak hal yang memengaruhi taraf kebahagiaan manusia paruh baya. Tidak sekadar kapasitas finansial, tetapi juga kondisi kebijakan pemerintah di negaranya, bisnisnya, kesehatannya, produktivitasnya, atau hal-hal lainnya.
Upaya untuk mengukur kualitas hidup secara ekonomis dilakukan di banyak negara. Di Amerika Serikat, di Bhutan, di Inggris, di Indonesia, dan masih banyak lagi. Tujuannya adalah untuk memberikan umpan balik kepada pemerintah dalam membuat kebijakan.
Dengan mengetahui tingkat kebahagiaan masyarakat pada golongan usia tertentu, pemerintah suatu negara diharapkan dapat mempertimbangkan kebiajakan publik apa yang relevan bagi warganya. Entah itu di bidang kesehatan, bisnis, atau lainnya.
Ironisnya, jika ditelusuri, konsep ‘krisis paruh baya’ itu sebenarnya justru dicetuskan oleh seorang psikolog dari Kanada bernama Elliott Jaques pada 1960-an. Dia mempelajari kebiasaan dari 310 artis terkenal; termasuk Mozart, Raphael, dan Gaugin.
Dia menemukan ada kemiripan di antara artis-artis tersebut. Saat mereka menginjak pertengahan 30-an, daya kreatif mereka mulai macet. Beberapa bahkan mengalami depresi. Tak sedikit pula yang nekat bunuh diri.
Jaques lantas mengamati gejala serupa yang dialami pasien-pasiennya. Dia lantas menyimpulkan saat seseorang mulai menginjak paruh baya, banyak yang merasa hidup menjadi begitu terbatas sehingga mereka khawatir tidak mampu menggapai ambisi.
Dalam tulisan terkenalnya yang bertajuk Death and the Midlife Crisis, Jaque berargumen krisis paruh baya lebih rentan terjadi pada pria karena masih memiliki ego untuk menggapai ambisi. Sebaliknya, pada perempuan, usia paruh baya menandakan masa-masa menopause.
Selanjutnya: Mengapa kebahagiaan menurun seiring bertambahnya usia?