TEMPO.CO, Canberra - Kekuatan oligarki mengendalikan konservatisme Islam dan hiper-nasionalisme dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Fenomena ini terlihat dari terbentuknya kompetisi antar elit oligarki, melalui kekuasaan dan sumber daya yang melibatkan politik identitas.
“Fenomena ini terlihat dari politik identitas yang semakin meningkat dan menjadi instrumen penting dari kompetisi tersebut,” kata Vedi Hadiz, Deputi Direktur Asia Institute di Universitas Melbourne, pada hari pertama Konferensi Indonesia Update 2017 di Australian National University, Canberra, Australia.
Konferensi ini membahas situasi politik dan ekonomi terkini di Indonesia. Dihadiri ratusan peserta, konferensi yang kali ini mengusung tema “Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignity” tersebut diadakan pada Jumat dan Sabtu akhir pekan ini. Sejumlah pengamat Indonesia—dikenal dengan sebutan Indonesianis—berkumpul pada perhelatan tahunan ini. Di antaranya sejarawan Anthony Reid dan Robert Cribb, ahli politik Marcus Meitzner dan Edward Aspinall, ekonom Hal Hill, dan ahli geografi Jeffrey Neilson.
Menurut Vedi, meningkatnya politik indentitas di Indonesia melibatkan arus utama dari nilai-nilai konservatisme Islam. Tidak hanya karena mudah memperoleh dukungan banyak orang, nilai-nilai tersebut juga memiliki kapasitas untuk membawa gerakan ini bersama-sama agar segala sesuatu bisa dijalankan berdasarkan ajaran Islam.
Vedi mengamati, pemerintahan Presiden Joko Widodo merespons fenomena itu dengan hiper-nasionalisme, yang ditandai dengan kembalinya diskursus gaya Orde Baru melalui Pancasila dan negara terintegrasi. “Respons yang diberikan sama-sama sebuah kemunduran,” kata dia.
Dua hal tersebut, kata dia, memperdalam karakteristik demokrasi illiberal yang sebenarnya sudah terjadi. Itu sebabnya, demokrasi di Indonesia saat ini menjadi lebih ekslusif. “Pemilihan umum membantu elit oligarki mengamankan dominasi sosial dalam berkompetisi,” ucap Vedi.
Pada saat yang sama, perlindungan terhadap hak-hak sipil, terutama kelompok marginal, berada di bawah bayang-bayang kompetisi antar elit oligarki. Itu sebabnya kaum marginal, seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), agama minoritas, eks tahanan politik, juga hak perempuan, masih berada di bawah ancaman meski berada di era demokrasi.
Kompetisi antar elit oligarki juga terlihat pada penggembosan kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terjadi akhir-akhir ini melalui pembentukan Panitia Khusus KPK di Dewan Perwakilan Rakyat. Tekanan terhadap KPK, menurut Vedi, mengindikasikan kepentingan “para pemangsa” mendominasi partai-partai politik dan institusi negara seperti parlemen. Padahal, KPK merupakan simbol utama kesuksesan reformasi.
Pluralisme sosial juga berada di bawah ancaman. Menurut Vedi, ini terlihat jelas pada demonstrasi menentang Basuki Tjahaja Purnama—atau biasa disebut Ahok—pada November dan Desember tahun lalu, sebelum pemilihan gubernur DKI Jakarta berlangsung. Ia menambahkan, Pilkada Jakarta merupakan pemilihan yang paling terpolarisasi dan emosional dalam sejarah Indonesia.
Vedi menyebutkan, kekalahan Ahok yang disebabkan oleh penggusuran kaum miskin kota—seperti ditekankan oleh Ian Wilson dari Universitas Murdoch, maupun aspek agama—seperti diuraikan oleh Marcus Mietzner dari ANU, masih terkait dengan kompetisi antar elit oligarki. “Mobilisasi sentimen anti Ahok, baik berdasarkan kelas maupun indentitas, tidak akan terjadi tanpa kompetisi antar elit oligarki.”
Di satu sisi, mobilisasi tersebut menaikkan posisi Front Pembela Islam dan organisasi sejenis di Indonesia dalam lingkaran kekuasaan. Itu sebabnya muncul kekhawatiran demokrasi akan dikuasai gerakan Islam radikal dan membuka pintu bagi kelompok sektarian. Namun menurut Vedi, FPI sebenarnya tidak memiliki kapasitas menyediakan basis sosial bagi kaum miskin perkotaan. Fenomena ini berbeda dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang mampu menyediakan klinik kesehatan dan jasa sosial.
“FPI selalu membutuhkan kontoversi politik yang dihasilkan dari konflik antar elit oligarki,” kata Vedi. “Sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara FPI dan oligarki.” Karena itu kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI, menurut Vedi, bukan kemenangan bagi organisasi semacam FPI, melainkan wajah baru dari pertarungan elit oligarki.
Fenomena ini terjadi karena ketidakhadiran gerakan kaum reformis liberal, sosial demokratik, ataupun kritik dari kelompok “kiri”. “Yang ada hanya Islamisme dan nasionalisme,” kata Vedi. Tak heran bila kritik terhadap konservatisme ataupun nasionalisme akan dicap sebagai anti-Islam maupun anti-Indonesia.
Thomas Power, peneliti Australian National University, mengatakan, peran elite oligarki dalam memobilisasi demonstrasi dalam Pilkada DKI Jakarta masih harus diteliti. “Butuh bukti lebih konkrit untuk memahami sifat dukungan dari elite,” kata Tom.
Menurut dia, poin ini penting untuk memahami seberapa jauh pengaruh oligarki dalam kontemporer politik Indonesia. Terutama menyangkut masalah uang, siapa yang memobilisasi, dan apa agenda politiknya. Di sisi lain, sejumlah bukti menunjukkan ada kelompok masyarakat yang pergi berdemonstrasi ke Jakarta atas inisiatif sendiri karena percaya Ahok telah menghina Islam. Masalahnya, “Kita tidak tahu pola mobilisasi mana yang mempengaruhi skala demonstrasi.”
Itu sebabnya, kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI tidak bisa hanya dijelaskan oleh pertarungan antar elit oligarki. “Kita perlu lebih jauh mengetahui pengaruh hubungan antara mobilisasi atas inisiatif sendiri dan mobilisasi yang digerakkan oleh elit,” katanya.
Bila sponsor dari elit bukan faktor yang menentukan skala demonstrasi, maka dapat disimpulkan protes menjelang Pilkada Jakarta sebagai produk dari mobilisasi yang diorganisir atas inisitif sendiri, ketimbang gerakan yang dikendalikan oleh oligarki.
Tom menambahkan, hubungan antara preferensi Jokowi, pengaruh para penasihat dan koalisi yang dibangun Jokowi, serta struktur oligarki di Indonesia perlu diinvestigasi lebih jauh untuk memahami respons yang ditunjukkan pemerintahan Jokowi selama ini.
YANDHRIE ARVIAN