TEMPO.CO, Jakarta - Myanmar menutup akses bagi pihak asing termasuk pejabat Amerika Serikat yang ingin memasuki wilayah konflik Rohingya di negara bagian Rakhine.
Konflik yang pecah pada 25 Agustus 2017 telah menimbulkan bencana kemanusiaan dengan tewasnya ratusan orang dan sekitar 400.000 orang etnis minoritas muslim Rohingya dipaksa meninggalkan rumahnya dan melarikan diri ke Bangladesh.
Asisten Menteri Luar Negeri Amerika, Patrick Murphy mendesak Myanmar memberikan kemudahan pekerja kemanusiaan memasuki wilayah konflik di Rakhine dengan maksud akan menyuarakan keprihatinan Washington tentang Rohingya.
Baca: Terungkap, Militer Myanmar Bumi Hangus Desa Etnis Rohingya
Sekretaris Negara Myanmar, Tin Maung Swe, mengatakan Murphy akan bertemu dengan pemimpin pemerintah di ibukota, Naypyitaw dan menghadiri pidato pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi pada hari Selasa, 19 September 2017.
Murphy juga akan mengunjungi Sittwe dan bertemu dengan gubernur Rakhine, namun tidak akan diizinkan masuk ke wilayah konflik.
"Tidak diizinkan," kata Maung Swe, ketika ditanya apakah Murphy akan pergi ke distrik Maungdaw, lokasi tempat terjadinya serangan dari pemberontak Rohingya, ARSA, sekitar 25 pos polisi dan beberapa kamp militer akhir Agustus lalu.
Baca: Senator Top AS Tepis Suu Kyi Bungkam Soal Rohingya, Ini Buktinya
Menurut juru bicara pemerintah Myanmar, larangan ke lokasi konflik mungkin didorong oleh kekhawatiran mengenai keamanan.
Penggiat HAM dan pengungsi Rohingya mengatakan bahwa tentara dan kelompok Buddha Rakhine telah melakukan pembakaran rumah-rumah penduduk untuk mengusir mereka dari wilayah itu.
REUTERS|STRAITS TIMES|YON DEMA