Kedua mahluk itu begitu kuat dan berkuasa sehingga pasal 4 UU No 11 Tahun 1966 yang telah diubah dengan UU No 4 Tahun 1967 dan UU No 21/1982 yang berusaha menghalanginya tidak berhasil. Penggunaan kekuasaan kedua peraturan tersebut dengan meminjam tangan Mahkamah Agung merupakan hal yang sangat serius bagi kebebasan pers Indonesia.
Meskipun majalah Tempo bersama kebebasan pers tidak lagi memperoleh pengayom dari sistem hukum pers negara kita (UU Pers dan UU Hukum Pidana), toh keduanya tetap hidup di hati sanubari dan rasa keadilan masyarakat yang tak berada di jalur "budaya hukum" Mahkamah Agung.
Aspirasi kebebasan pers dan keadilan akan semakin berkobar dalam masyarakat, sama sekali tidak bisa dibunuh dengan cara-cara apa pun. Kedua aspirasi itu dikuasai oleh hukum "existantia:" makin ditekan makin berkobar dan tersalur lewat berbagai jaringan informasi sosial, termasuk internet. Kebutuhan akan kebebasan informasi dan komunikasi adalah kebutuhan fundamental bagi makhluk hidup. Karena itu kebebasan pers tidak mati, meski diintimidasi dan ditindas dengan menggunakan (memperalat) kekuasaan hukum.
Alhasil putusan MA yang mengalahkan Tempo itu mengisyaratkan suatu kemunduran yang tidak kecil dalam budaya komunikasi maupun dalam bidang hukum dan keadilan. Dalam putusan itu tergambar isyarat mundurnya budaya komunikasi kita ke zaman pers otoriter abad ke-16 yang menghalalkan pembredelan pers. Budaya komunikasi sebagai cara pemanfaatan informasi dalam meningkatkan harkat dan mertabat manusia seakan-akan tergusur dari kedudukan sentralnya. Kebebasan informasi (kebebasan pers) mengalami guncangan yang keras. Bahkan kekuasaan pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 UUD 45 juga mengalami guncangan hebat.
Implikasi putusan MA bisa menjadi mimpi buruk bagi cara pelaksanaan negara hukum, keadilan, dan kebebasan komunikasi dan informasi. Ada kesenjangan yang besar antara aspirasi keadilan masyarakat dengan pengertian keadilan lembaga peradilan yang memuliakan kekuasaan. Dan benteng terakhir keadilan itu seolah berhasil "diduduki" oleh suatu kekuasaan luar yang tak terlawan, yakni faktor non-hukum atau faktor "X". Kemampuan lembaga peradilan untuk mempertahankan kemandiriannya, indepedensinya seakan-akan menurun drastis akibat kemungkinan adanya intervensi faktor non-hukum yang sangat kuat tersebut. Apa yang disebut asas fair trial seakan-akan tak lebih dari sebuah mimpi yang indah. Maka MA pun menghalalkan pembredelan pers. Dan oleh masyarakat mungkin MA dianggap gagal untuk lulus dalam sebuah ujian "berat" guna mempertahankan kemandiriannya.
Kalau MA memakai kacamata yang transparan maka sebenarnya pengadilan tertinggi itu tak sulit untuk memahami hakikat pembatalan SIUPP (pasal 33h Permenpen 01/84), bahwa peraturan tersebut setali tiga uang dengan pembredelan yang notabene di larang oleh UU Pers (pasal 4). Sayangnya, alur pemikiran MA tak sama dengan yang ditempuh oleh PTUN dan PTTUN. MA tidak sanggup memahami bahwa pembatalan SIUPP mempunyai implikasi pembredelan. Mungkin hal itu akibat masih belum terlalu luasnya wawasan MA tentang hakekat budaya komunikasi, khususnya tentang asas kebebasan komunikasi sebagai salah satu hak asasi manusia. Dengan demikian MA telah membenarkan (mendukung) tindakan Menpen yang membatasi kebebasan pers dengan pembredelan. MA juga membenarkan kebijakan yang ditempuh oleh Menpen sebagai Ketua Dewan Pers yang tidak meminta pertimbangan dewan itu dalam membredel Tempo dua tahun silam. Implikasi putusan MA yang kontroversial itu memang luas. Putusan itu tanpa disengaja telah menempatkan konsep Pers Pancasila pada teori pers otoriter abad ke-16 atau pada teori media pembangunan abad ke-20 yang menghalalkan pembredelan.
Apa pun putusan Ma adalah wewenangnya. Tetapi dalam pelaksanaan kewenangn itu terpaksa (tanpa disengaja) dikorbankan segala macam tuntutan zaman seperti era tansparansi, era demokrastisasi, dan budaya komunikasi yang memuliakan harkat dan martabat manusia. Juga dikorbankan amanat pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 UUD 45. Itu juga bisa menimbulkan persepsi di dalam masyarakat bahwa kekuasaan politik masih terlalu kuat untuk ditandingi oleh kekuasaan hukum.
Sebuah preseden yang tidak cantik telah menciptakan oleh MA dengan putusannya mengesampingkan semua hal yang logis dan relevan. Citra masyarakat terhadap bentang terakhir keadilan itu akan membuat para hakim agung di situ menutup teliga. Dan kebebasan pers akan terus terancam dengan pembredelan yang memakai nama pembatalan SIUPP.
Ada rentetan akibat tang tak dapat diramalkan oleh sidang majelis Hakim Agung tanggal 13 Juni itu. Misalnya putusan mereka dapat membuat lembaga eksekutif bertambah berani melakukan pembredelan terhadap pers. Tindakan penyalahgunaan fungsi SIUPP sebagai undang-undang perusahaan mungkin akan meningkat pada masa mendatang. Dan pers akan selalu mengalami ketakutan (psychoangst) untuk memberitakan peristiwa-peristiwa yang dibutukan masyarakat, yang berkaitan dengan keselamatan dan kemaslahatannya. Fungsi media massa cetak sebagai penjaga lingkungan (survaillance of the environment) tak bisa terlaksana sebagaimana mestinya. Pers dan media massa lain mempunyai fungsi informasi agar masyarakat memahami dan mengantisipasi berbagai kejadian di lingkungannya. Misalnya peristiwa-peristiwa di bidang politik, ekonomi, demonstrasi, huru-hara, dan sebagainya. Jika pers sudah tidak bebas, maka kemaslahatan masyarakat pun akan kurang terjamin.
Mahkamah Agung sangat berkuasa untuk "menghitamputihkan" pelaksanaan UU Pokok Pers. Dalam kasus Tempo ini, kekuasaan dan "kewibawaan" lembaga eksekutif diselamatkan oleh kekuasaan mutlak lembaga yudikatif, tetapi kewibawaan lembaga yudikatif seolah-olah (tanpa disengaja) "dikorbankan" oleh kepentingan lembaga eksekutif untuk mempertahankan kewibawaan.
Kekalahan Tempo sebenarnya merupakan isyarat ketidakberdayaan hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Juga pertanda tersudutnya aspirasi pers dan masyarakat yang menginginkan adanya iklim kebebasan pers yang benar-benar sehat. Artinya, kebebasan yang dibatasi oleh tanggung jawab hukum pidana dan atau perdata dan dilaksanakan oleh pengadilan. Bukan tanggung jawab politik yang dikenakan oleh kekuasaan eksekutif.
Putusan MA dalam kasus Tempo sangat bersejarah. Artinya, teori pers otoriter abad 16-17 merangsek masuk ke dalam kehidupan pers Pancasila. Dengan demikian jatidiri pers Pancasila semakin tidak "khas", semakin merupakan sebuah doktrin kekuasaan politik di bidang pers.
Alhasil teori-teori hukum pers yang dipelajari di jurusan-jurusan atau fakultas-fakultas ilmu komunikasi "tidak laku". Teori hukum media massa mengajarkan bahwa semua pesan atau isi media yang merugikan individu, negara, masyarakat atau pemerintah sudah ada undang-undang yang mengaturnya atau memberinya sanksi. Hal itu terdapat dalam Buku II dan III KUH-Pidana, pasal 1365 BW dan pasal XIV-XV UU No 1/1946. Dampak negatif atau buntut sebuah proses penyampaian pesan antar manusia sudah dirumuskan secara rapi dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian tindakan yang tidak mentaati peraturan perundang-perundangan tersebut di bidang media massa tergolong pembredelan. Jika dipakai bahasa hukum, maka putusan MA yang satu ini agaknya kurang mengindahkan asas legalitas (pasal 1 ayat 1 KUH-Pidana).Seseorang barulah bisa dihukum kalau ada perbuatannya yang melanggar undang-undang. Undang-undang itu sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Sedang dalam kasus pembatalan SIUPP majalah Tempo tidak ada undang-undang yang dilanggar dan yang harus dibuktikan di pengadilan. Dalil MA bahwa Menpen yang meberikan SIUPP dan dia pulalah yang berwewenang membatalkannya (bukan mencabut SIUPP), merupakan dalil yang sangat lemah. Pasalnya, pembatalan SIUPP majalah Tempo didasarkan atas materi atau berita media cetak tersebut. Padahal pembatalan SIUPP yang memakai alasan kesalahan isi atau berita media pers dengan dasar pasal 33h Permenpen 01/84 sama dengan pembredelan yang dilarang oleh pasal 4 UU Pers. Tetapi Majelis Hakim Agung yang langsung diketuai sendiri oleh Ketua MA itu rupanya kurang memahami hal itu. Akibatnya putusan itu sangat kontrovesial.
Bagaimanapun, masyarakat dan kalangan pers yang mencintai kebenaran, keadilan, tegaknya hukum, kemandirian lembaga peradilan dan kebebasan pers tanpa pembredelan (dengan nama pembatalan SIUPP) saat ini hanya bisa mengucapkan "selamat jalan" bagi kebebasan pers Indonesia.
*) Prof. DR. A. Muis SH, guru besar tetap ilmu komunikasi & hukum UNHAS